Post ADS 1

Weliandina Tekege: Guru Papua yang Gugur dalam Gelap Otsus

“Papua Tengah terang bukan hanya listrik dan infrastruktur. Papua Tengah terang berarti anak-anak bisa sekolah, ibu hamil bisa melahirkan dengan selamat, masyarakat dilayani berobat tanpa dipungut biaya dan rakyat kecil bisa jual hasil kebun ke pasar tanpa dihimpit kemiskinan.” _ Dianus You

Satu Nyawa, Banyak Tanya: Kematian Weliandina Tekege dan Cermin Otsus di Papua TengahDi tengah gegap gempita peringatan 80 tahun Indonesia merdeka, terdengar suara lirih dari Nabire, Papua Tengah, menggema dengan duka.

Pada malam 31 Juli 2025, pukul 21.54 Waktu Papua, Weliandina Tekege menghembuskan napas terakhir di RSUD Nabire. Weliandina adalah seorang guru, orang asli Papua, perempuan Katolik yang mengabdi dalam dunia pendidikan anak-anak di Paniai. Namun lebih dari itu, beliau merupakan potret dari sistem kesehatan yang gagal menjangkau mereka yang paling membutuhkan yaitu masyarakat Papua Tengah itu sendiri.

Perlu kita ketahui bersama bahwa, Weliandina wafat bukan karena tak ada rumah sakit. Bukan pula karena tak ada dokter. Tetapi semua diakibatkan karena akses terhadap layanan yang seharusnya ditanggung dana Otonomi Khusus (Otsus) ternyata masih menyisakan pertanyaan besar. Untuk siapa dana OTSUS diperuntukkan ?

Menanti di Antara Sakit dan KemiskinanDua minggu sebelum ajal menjemputnya, Weliandina sudah merasakan sakit yang sangat parah. Namun beliau memilih bertahan di rumah. Bukan karena tak tahu pentingnya pengobatan, melainkan karena beliau tahu betapa mahalnya biaya untuk berobat. Ketika akhirnya ia dibawa ke Puskesmas Wonorejo. Usut tak usut petugas puskesmas meminta Rp 20.000 untuk kartu berobat. Mau dan tidak beliau harus berkata jujur bahwa beliau tak memiliki Uang.

Kemudian tak berhenti sampai disitu ternyata biaya obat pun harus dibeli sendiri di luar. Klinik tempat rujukan tak menerima pembelian obat yang tidak langsung digunakan atau diminum hari itu juga. Sementara puskesmas tutup, dan Weliandina tidak punya kulkas untuk menyimpan obat.

Marselino Wegobi Pigai, seorang aktivis dan yang menjadi saksi langsung yang telah mendampingi Weliandina, mengungkapkan bahwa berbagai prosedur ini seperti jebakan tak berujung. “Kami pikir Otsus itu untuk OAP (Orang Asli Papua), tapi kenyataannya Weliandina, sebagai guru, perempuan, warga asli Papua, harus tetap bayar dari awal sampai akhir. Bahkan jenazahnya pun dipungut biaya untuk diantar pulang,” kata Pigai.

Ketika Rumah Sakit Jadi Tempat Ujian KesabaranTanggal 27 Juli 2025, kondisi Weliandina memburuk. Ia dibawa ke RSUD Nabire. Di IGD, infus dipasang. Obat diare tidak tersedia. Harus dibeli sendiri di luar. Setelah dipindahkan ke ruang perempuan, dokter menyatakan bahwa kedua ginjalnya rusak parah. Racun tubuhnya melonjak hingga 330 jauh di atas batas normal di bawah 50. Nafasnya sesak. Pikiran terganggu. Ia tak mampu bergerak. Makanan tak tertelan. Air seni tak keluar. Obat-obatan pun sebagian besar tidak tersedia di apotek RSUD.“Makanannya pun dia selalu bertanya: ‘kenapa makanan ini terus?’ Air minum pun tak disediakan. Bahkan sabun dan kebutuhan mandi harus beli sendiri. Kipas angin, pembatas antar pasien, semuanya tidak ada,” ujar Pigai.Hari Kamis, 31 Juli, malam itu tubuhnya menyerah.

Dana Otsus: Apa yang Telah Dijanjikan dan Ditinggalkan?Sejak 2001, Otonomi Khusus diberlakukan di Papua sebagai jawaban pemerintah pusat atas desakan keadilan sosial bagi Orang Asli Papua (OAP). Otonomi khusus adalah janji negara kepada rakyat Papua bahwa mereka akan memiliki akses lebih besar dan prioritas dalam pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Namun 24 tahun berjalan, dan kini memasuki jilid kedua, implementasinya menyisakan luka seperti kisah Weliandina.

“Kalau Otsus benar-benar berpihak pada rakyat kecil, tidak boleh ada orang Papua yang meninggal karena tidak punya Rp 20.000 untuk kartu berobat.” Pigai Wegobi

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Papua Tengah tahun 2024, lebih dari 40% puskesmas di wilayah pegunungan dan pedalaman belum terakreditasi. Fasilitas dasar seperti air bersih, listrik 24 jam, dan tenaga medis yang memadai masih menjadi masalah. Di Nabire saja, rumah sakit terbesar di provinsi itu, tidak memiliki stok formalin di ruang mayat. Keluarga Weliandina harus membeli sendiri di apotek.Pendidikan: Cahaya yang Masih Redup Weliandina adalah guru.

Profesi yang beliau pilih bukan karena sekadar mencari pekerjaan, tetapi karena cinta pada anak-anak kampungnya. Dalam dua sekolah di Paniai, beliau mengabdikan diri mengajar tanpa kejelasan honor tetap, tanpa tunjangan yang layak, dan tanpa kepastian jaminan kesehatan.“Kami punya guru, tapi tidak punya gaji. Kami punya murid, tapi belum punya buku. Kami punya sekolah, tapi belum punya listrik,” ujar salah satu kolega Weliandina di Enarotali.

Provinsi Papua Tengah, yang baru dimekarkan sejak 2022, menghadapi tantangan besar dalam pendidikan. Data Dapodik menunjukkan masih banyak sekolah SD dan SMP yang bergantung pada guru honorer tanpa SK. Fasilitas laboratorium, komputer, dan perpustakaan nyaris tidak tersedia di wilayah pegunungan. Weliandina mengajar dalam keterbatasan itu. Satu yang pasti, beliau tidak hanya mengajar membaca dan berhitung, namun beliau mengajarkan harapan.

Ekonomi: Jalan Panjang Menuju Kemandirian

Tak jauh dari tempat Weliandina dikebumikan, di Enarotali, harga beras bisa mencapai Rp 15.000 per kilogram. Gula bisa menyentuh Rp 10 hingga 25.000. Di pedalaman, ekonomi berbasis kebun dan pasar tradisional tidak mendapat akses transportasi dan infrastruktur yang layak sehingga mama-mama Papua berjualan di pinggir jalan pusat kota Enarotali.

Menurut Pigai, “Jika mau bicara ekonomi Papua Tengah, maka harus ada jalan, ada jembatan, ada pasar, dan ada harga yang adil. Tapi hari ini orang asli Papua masih jual hasil kebun dengan harga ditekan, karena mereka tak punya pilihan.”

Di sisi lain, dana Otsus yang digelontorkan untuk ekonomi rakyat banyak tersendat dalam birokrasi.

UMKM milik OAP sulit mendapat pendampingan atau modal bergulir. Laporan BPK tahun 2023 mengungkap adanya ketidaksesuaian penggunaan dana Otsus bidang ekonomi di beberapa kabupaten di Papua Tengah.

Papua Tengah Terang: Harapan atau Ilusi?

Tahun 2025 ini, pemerintah pusat menyampaikan target besar yaitu menjadikan Papua terang. Namun terang bukan hanya soal cahaya lampu. Terang juga berarti pelayanan dasar menyentuh rakyat. Terang berarti nyawa seperti Weliandina tak hilang karena rumah sakit kekurangan obat dan keluarga tak mampu membayar ambulans.

Pigai dengan tegas mengatakan, “80 tahun Indonesia, kami tidak butuh sekadar ucapan. Kami butuh jaminan hidup. Weliandina adalah korban sistem. Tapi dia juga suara. Suara untuk perubahan.”Menuju Terang: Apa yang Harus Dilakukan?

1. Evaluasi Menyeluruh Dana Otsus Bidang KesehatanTransparansi dalam alokasi dan implementasi dana kesehatan Otsus harus dijadikan prioritas. RSUD dan Puskesmas wajib mengutamakan OAP dalam pelayanan dan pembebasan biaya dasar.

2. Prioritaskan Tenaga Kesehatan dan Fasilitas DasarPapua Tengah membutuhkan tenaga medis lokal yang diberdayakan melalui beasiswa OAP. Fasilitas seperti air bersih, listrik, dan peralatan dasar (kipas, sabun, formalin) harus dijamin tersedia.

3. Reformasi Pendidikan untuk OAPBerikan jaminan gaji, tunjangan, dan perlindungan kesehatan bagi guru OAP seperti Weliandina. Pastikan semua sekolah memiliki akses bahan ajar dan infrastruktur layak.

4. Berdayakan Ekonomi Lokal Berbasis KampungDana Otsus harus menjangkau petani, mama-mama pasar, nelayan dan UMKM lokal dengan skema subsidi dan pelatihan yang konkret, bukan hanya proyek seremonial.

Penutup: Dari Duka Menjadi Jalan Terang

Kematian mendiang Weliandina Tekege bukan hanya cerita tentang seorang guru yang gugur dalam sakit. Ia adalah potret menyeluruh tentang kegagalan negara menjamin hidup warganya, terutama mereka yang berasal dari wilayah terpinggirkan.Delapan puluh tahun Indonesia merdeka adalah saat yang tepat untuk bertanya ulang, sudahkah Papua benar-benar merdeka? Sudahkah negara hadir di kampung-kampung terpencil, di Nabire, di Enarotali, di Papua Tengah.

Di pusara Weliandina Tekege, kita tidak hanya menabur bunga, tapi menanam komitmen. Bahwa terang Papua Tengah tidak boleh hanya menjadi slogan. Tapi menjadi terang yang menjangkau setiap nyawa, terutama yang paling mudah terlupakan.

Saya menyimpan harapan agar kisah almarhumah ibu Weliandina Tekege menjadi panggilan nurani, bukan sekadar berita duka yang cepat dilupakan. Saya berharap pemerintah daerah dan pusat mulai berpihak secara nyata pada orang asli Papua, terutama mereka yang lemah dan terpinggirkan dengan menghadirkan kebijakan yang adil, transparan, dan berpijak pada kemanusiaan.

Saya menulis ini bukan untuk menciptakan kemarahan, tetapi untuk mengundang perubahan. Supaya di masa depan, tak ada lagi Weliandina-Weliandina lainnya yang harus menyerah bukan karena penyakit, tapi karena sistem yang abai. Saya percaya, Papua Tengah bisa menjadi terang jika negara sungguh-sungguh hadir di sisi rakyatnya.

Di pusara Weliandina Tekege, kita tidak hanya menabur bunga, tapi menanam komitmen. Bahwa terang Papua Tengah tidak boleh hanya menjadi slogan. Tapi menjadi terang yang menjangkau setiap nyawa, terutama yang paling mudah terlupakan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *