Post ADS 1

Pendidikan Papua Tengah: Sekolah Gratis dan Sepanjang Waktu, Solusi atau Ilusi?

Oleh: Jhon Minggus Keiya

 

Pendahuluan

Bayangkan sebuah sekolah megah berdiri di sebuah lembah Papua Tengah. Gedungnya dicat warna cerah, bendera Merah Putih berkibar, dan anak-anak berseragam rapi duduk dari pagi hingga sore. Pemerintah mengumumkan dengan bangga bahwa sekolah ini gratis, dan anak-anak bisa belajar sepanjang waktu tanpa harus memikirkan biaya. Dari luar, kebijakan ini tampak sebagai langkah maju yang layak diapresiasi.

 

Namun, pertanyaan mendasar segera muncul: apakah pembangunan sekolah gratis dan sepanjang waktu ini sungguh menjawab masalah pendidikan di Papua Tengah, atau justru berisiko melahirkan problem baru? Kita tahu, Papua Tengah tidak sedang berada dalam kondisi baik-baik saja. Konflik sosial, ketimpangan ekonomi, keterbatasan infrastruktur, dan luka sejarah masih membayangi kehidupan masyarakat. Maka, gagasan membangun sekolah harus diuji, bukan hanya dari sisi gagahnya bangunan, tetapi juga dari sejauh mana ia menyentuh akar persoalan.

 

1. Harapan Baru: Sekolah sebagai Jalan Keluar

Tidak bisa disangkal, pendidikan gratis adalah impian banyak orang tua di Papua. Selama ini, biaya sekolah menjadi alasan utama anak-anak berhenti belajar di tengah jalan. Di pedalaman, orang tua lebih memilih anak ikut membantu di kebun, berburu, atau menjaga rumah, ketimbang membayar iuran sekolah yang mahal dan perjalanan yang jauh.

 

Dengan hadirnya sekolah gratis, pintu kesempatan terbuka lebih lebar. Anak-anak dari keluarga yang sebelumnya terpinggirkan bisa melanjutkan pendidikan tanpa takut akan biaya. Apalagi jika model yang ditawarkan adalah sekolah sepanjang waktu, maka anak-anak bisa lebih terlindungi dari kerasnya realitas luar. Sekolah bisa menjadi ruang aman, tempat mereka bermain, belajar, dan menemukan dunia baru.

Bukan hanya akademik, waktu yang panjang dapat digunakan untuk mengajarkan keterampilan hidup bercocok tanam modern, kerajinan tangan, olahraga, hingga seni tradisional Papua. Dengan demikian, sekolah tidak hanya mencetak murid yang pintar di atas kertas, tetapi juga tangguh dalam menghadapi kenyataan hidup.

 

2. Bahaya Tersembunyi: Ketika Sekolah Menjadi Ruang Asing

Meski menjanjikan, kebijakan ini menyimpan bahaya. Jika sekolah sepanjang waktu berbentuk boarding school, maka anak-anak berisiko tercerabut dari keluarga dan budayanya. Mereka hidup dalam aturan formal sekolah, jauh dari bercerita di api unggun, jauh dari bahasa ibu, jauh dari sentuhan kasih keluarga yang selama ini membentuk identitas mereka.

 

Lebih dari itu, sistem pendidikan yang kaku dan seragam bisa menimbulkan keterasingan. Anak-anak Papua mungkin pintar berhitung dan membaca buku pelajaran, tetapi perlahan lupa bahasa daerahnya, tidak kenal filosofi adat, dan merasa budaya sendiri “kurang modern.” Inilah yang disebut sebagai bahaya asimilasi pendidikan yang dimana anak-anak diajari untuk menjadi “orang lain” dan melupakan dirinya sendiri.

 

Selain itu, beban psikologis juga tak bisa diabaikan. Waktu belajar yang panjang tanpa dukungan fasilitas dan guru yang memadai bisa menimbulkan kebosanan. Anak-anak bisa merasa terkekang, kehilangan motivasi, bahkan trauma pada sekolah. Alih-alih menjadi ruang aman, sekolah bisa menjelma menjadi “penjara pendidikan.”

 

3. Ketidakmerataan: Kota Terlayani, Kampung Terabaikan

Papua Tengah memiliki topografi sulit, dengan pegunungan, lembah, dan kampung-kampung terpencil. Pertanyaan yang patut diajukan adalah, apakah sekolah gratis dan sepanjang waktu ini akan dibangun merata hingga kampung-kampung pedalaman, atau hanya berpusat di kota kabupaten seperti Nabire, Paniai, atau Deiyai?

 

Jika yang terjadi adalah skenario kedua, maka anak-anak di kampung tetap tidak terjangkau. Mereka masih berjalan berjam-jam menuju sekolah terdekat, atau bahkan tetap tidak sekolah sama sekali. Sekolah megah di kota hanya akan menjadi simbol kesenjangan baru: menambah jarak antara anak-anak kampung dengan anak-anak kota.

 

4. Risiko Politisasi: Sekolah Sebagai Proyek Pencitraan

Tidak dapat dipungkiri, pembangunan sekolah juga sering dipolitisasi. Gedung megah dan program “gratis” kerap dijadikan bahan kampanye politik, bukan sebagai investasi jangka panjang untuk masa depan anak-anak. Akibatnya, sekolah yang dibangun terburu-buru sering kali kekurangan guru, minim fasilitas, bahkan tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

 

Dalam situasi Papua Tengah yang masih rawan konflik, pembangunan sekolah juga bisa dipandang sinis oleh masyarakat jika tidak melibatkan mereka sejak awal. Sekolah berpotensi dianggap sebagai alat kontrol negara, bukan sebagai ruang pembebasan. Jika itu terjadi, maka pendidikan kehilangan makna sejatinya: membangun manusia yang merdeka dan bermartabat.

 

5. Jalan Tengah: Pendidikan yang Membumi

Agar sekolah gratis dan sepanjang waktu benar-benar berhasil di Papua Tengah, ada beberapa prasyarat mendasar:

 

1. Kurikulum kontekstual Papua

Pendidikan harus memuat pelajaran tentang bahasa daerah, budaya lokal, filosofi adat, dan kearifan ekologi. Anak Papua harus belajar tentang dunia global tanpa kehilangan akarnya.

 

2. Guru yang berakar di komunitas

Guru tidak bisa hanya datang sebagai “pegawai sementara” lalu pulang. Mereka harus dibina, diberdayakan, dan diintegrasikan dengan masyarakat lokal.

 

3. Sekolah sebagai bagian dari komunitas

Orang tua, tokoh adat, dan masyarakat harus terlibat dalam mengelola sekolah. Dengan begitu, sekolah tidak terasing dari kehidupan sehari-hari, melainkan menjadi perpanjangan dari rumah dan budaya.

 

4. Infrastruktur sebagai fondasi

Tanpa listrik, internet, transportasi, dan gizi anak, sekolah sepanjang waktu akan menjadi beban. Infrastruktur harus menjadi prioritas.

 

5. Pendekatan humanis, bukan kontrol

Pendidikan di Papua harus membebaskan, bukan mengikat. Pendidikan harus mengangkat martabat manusia Papua, bukan menjadikannya sekadar objek kebijakan.

 

Penutup

Membangun sekolah gratis dan sepanjang waktu di Papua Tengah adalah gagasan besar yang bisa membawa harapan, tetapi juga penuh risiko. Jika dirancang dengan serius, berbasis lokal, dan partisipatif, sekolah bisa menjadi ruang hidup yang mengubah masa depan anak-anak Papua. Namun, jika hanya dijalankan sebagai proyek pencitraan, sekolah akan menjadi ilusi yang mengasingkan, menambah jarak antara anak Papua dan jati dirinya.

 

Pendidikan sejatinya bukan sekadar gedung, bukan pula soal jam belajar yang panjang. Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Papua Tengah membutuhkan pendidikan yang menyentuh hati, menyapa budaya, dan membangun generasi yang bukan hanya cerdas, tetapi juga kuat dalam akar identitasnya. Dengan itu, barulah sekolah benar-benar menjadi ruang harapan, bukan ruang kehilangan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *